Rabu, 27 Februari 2008

KiaiKanjeng Bapak Musiknya Letto

KiaiKanjeng Bapak Musiknya Letto
Ditulis Oleh HM / Progress
Saturday, 22 December 2007

Bagai murid yang sedang menimba ilmu, Sabrang Noe Letto menyodorkan tiga pertanyaan kepada KiaiKanjeng. Pertanyaan itu adalah di manakah letak, apa peran, dan bagaimana perjalanan KiaiKanjeng. Pertanyaan ini diajukan karena Noe merasa KiaiKanjeng adalah bapak musiknya Letto. Mengapa demikian? Karena KiaiKanjenglah yang memperkenalkannya pada musik. Tiga pertanyaan itu bisa dikatakan sebagai tema utama Mocopat Syafaat 17 Desember 2007.
Dengan pertanyaan pertama, Noe ingin tahu di manakah letak KiaiKanjeng dalam konstelasi musik tradisional hingga mutakhir. Untuk pertanyaan kedua, Noe mengibaratkan Indonesia sebagai mahabarata. Maka apa peran KiaiKanjeng, togokkah, semarkah, atau? Sementara ikhwal perjalanan, Noe mengibaratkan perjalanan para Nabi (dari nabi Adam hingga Nabi Muhammad), kira-kira sampai tahap nabi siapakah perjalanan KiaiKanjeng?
Pak Joko Kamto, Pak Novi Budianto, dan Mas Jijid bergantian memberikan jawaban. Sungguh di luar dugaan jawaban mereka sebagai suatu kelompok musik yang telah merambah ke manca negara ini. Pak Joko Kamto mengurai KiaiKanjeng dalam perspektif sejarah (dari sejarah Dipowinatan, Teater Dinasti - musik puisi, dll), dan menyatakan belum terpikir oleh KiaiKanjeng soal letak. Jenis musik pun tidak ngerti, pokoknya ngiringi adegan. Sementara itu peran KiaiKanjeng lebih terletak pada sosialisasi nilai dan peran sebagai media. Adapun dari sisi perjalanan, Kiaikanjeng saat ini lebih berkonsentrasi pada menemani rakyat, mencari kebenaran, dan proses mendekat kepada Allah. Pak Kamto juga menambahkan, "letak KiaiKanjeng: bukan membuat lagu baru dicari maknanya, melainkan maknalah yang melahirkan lagu".
Pak Novi Budianto, yang kerap disebut sebagai pimpinan KiaiKanjeng, malah lebih mengagetkan lagi. "Saya ndak punya hajat bikin kelompok musik, Brang,...jadi orang ngerti yen diarani Bapak musike Letto." Dan ini yang membuat banyak orang tertawa, "mohon do'a biar diberi umur panjang dan kesehatan supaya tahu klimaksnya". Tiga kata terakhir itu yang membuat hadirin tertawa. Lebih jauh Pak Novi menyatakan, "Cak Nun menemani hidup saya...kalau KiaiKanjeng dihubungkan dengan musik sekarang, ra ono hubungane (tidak ada hubungannya: red). Saya nggak pernah merasa pemusik. Musik itu menyeluruh. Tidak harus dengan alat musik. Dalam teater, musik itu bisa rangkaian kata-kata ...maka, derap perjalanan harus tetap dijaga". Sementara itu Mas Jijid lebih filososfis lagi menjelaskan, "kalaupun harus bicara letak, letak KiaiKanjeng itu yang di letak itu sendiri".
Cak Nun pun turut menambahkan seraya mengutip hadis Nabi Saw. "Bada'al islamu ghariba, wa sa yaudu ghariban fa tuba lil ghuroba (Islam itu bermula asing, dan akan berjalan asing, maka beruntunglah orang yang terasing). "KiaiKanjeng itu takut dengan hadis itu, tetapi merasakan kenikmatan sebagai orang yang terasing. Novi Budianto itu lari kalau mau diwawancarai. Dia itu Umbu ke-2.... Novi berbicara "tidak ada letaknya, nggak ada hubungannya dengan musik", dan itu yang dikejar Sabrang, dan itu adalah titik yang tidak bisa diperbandingkan dengan yang lain, karena tak punya letak. Itu jadi paradigma.... KiaiKanjeng bukan orang yang mau pentas, tetapi KiaiKanjeng adalah orang melayani kebutuhan yang dijumpainya.... Analog dengan pekerjaan nabi, KiaiKanjeng pernah jadi Adam, pernah pegang kapak Ibrahim, pernah jadi Nuh, pernah jadi Yunus, dll.... KK tidak pernah punya perjalanan ke dunia. Sudah ke mana-mana kok tidak punya tujuan eksistensi.... Begitu pentas di Komisi Yudisial, tidak latihan, tetapi bisa pentas indah.... La haula wa la quwwata illa billahi.... Jangan cari kekuatan/kekuasaan, carilah Allah, Anda akan dapat kekuatan....".
Usai menjawab pertanyaan Sabrang, KiaiKanjeng mempersembahkan sebuah lagu yang dinyanyikan langsung oleh penyanyinya: Sebelum Cahaya. Kebetulan di lagu ada tertulis lirik: embun pagi yang menemanimu sebelum cahaya. Cak Nun pun bertanya, "embun pagi siapa? Kok lagu ini juga dipakai soundtrack sinetron?". Seorang jamaah pun juga bertanya hal yang sama. Menurut dia lagu yang sedemikian dalam ini, mengapa dipakai soundtrack sinetron yang notabene berisikan cinta ABG.
Kata Sabrang, "lagu ini memiliki banyak ruang. Maknanya bisa kita tidak boleh putus asa, karena ada embun (bisa diganti dengan yang lain), ada banyak teman, tetapi saya kira kita jarang menyadari bahwa ada yang menemani kita. Embun adalah awal kontemplasi, adalah bicara pada diri kita. Dalam hidup tak pernah kita sendiri. Pada tahap ini siapakah teman anda." Cak Nun pun menambahi, "Sabrang membiarkan lirik-liriknya koma, sehingga pas buat industri", disambut tawa para hadirin. Sabrang pun menjelaskan tentang lagunya yang di-soundtrack-kan untuk sinetron, "Masyarakat itu multilevel, ada yang menafsir sesuai levelnya, yang penting file-nya nyangkut di kepala mereka.” Ditambahi lagi oleh Cak Nun bahwa lagu Ilir-ilir itu sebenarnya lagu yang dalam maknanya dan diperuntukkan bagi para pemimpin, tetapi oleh para wali lagu itu dititipkan ke anak-anak sebagai lagu anak-anak. "Yang penting file ada di dia dulu". Cak Nun juga mengatakan, "bukalah website Letto , di sana syair itu tak berpamrih, bisa diisi sendiri oleh pembacanya....".
Hizbut Tahrir Jogja Ikut Menikmati
Selain dinikmati para jamaah dan para tamu lainnya, seperti aliansi LSM Perempuan Jogja yang menyampaikan keprihatinan soal nasib perempuan di Bantul selatan, dialog Sabrang-KiaiKanjeng juga dinikmati oleh tiga orang tamu dari Hizbut Tahrir Jogja. Dalam kesempatan itu, Mas Yoyok dari HT Jogja menyampaikan pandangannya tentang khilafah dalam rangka menyelesaikan masalah di Indonesia. Karena selama ini negara tidak peduli, kata Mas Yoyok. Mas Yoyok juga bercerita bahwa dia juga terinspirasi oleh tulisan-tulisan lama Cak Nun, seperti Slilit Sang Kiai, dan berharap kapan Cak Nun bisa kolaborasi sepanggung dengan HT.
Cak Nun pun mengajak semua hadirin untuk mempelajari logika-logika bernegara, "Kita terbuka pada siapa saja, bukan identitas, tetapi substansi.” Ia mencontoh bahwa di Jatim masih ada masalah lumpur yang begitu rupa, tetapi pada saat yang sama ada pilkada. Gambar-gambar dipajang, sementara korban sedang menderita. "Belum jadi lurah sudah dosa nggak?", tanya Cak Nun, "sedangkan Nabi tersenyum saja, malu digambar. Inilah yang disebut psikologi tasamuh...sampai sejauh itu disconnected".
Setelah itu, Cak Nun menyimpulkan dan meminta penegasan, "Sebenarnya prinsip anda nggak ada yang beda dengan kita.” Namun, Cak Nun menegaskan bahwa secara strategis dia banyak beda dengan HT. Cak Nun mencontohkan HAM. Menurutnya, mestinya yang ada adalah Hak Asasi Tuhan dan wajib asasi Manusia. Atau kalau mau lebih modern/aplikatif, mestinya adalah Hak Asasi Rakyat atau Hak Asasi Warga Negara. "Saya tidak bantah itu HAM, supaya tidak ruwet. Saya titili saja, …saya tidak bicara istilah....". Cak Nun juga berpesan pada tamu HT itu untuk berkonsentrasi pada 50% case, dan 50% lagi kaderisasi. Bang Fauzi Rijal juga menambahkan bahwa Cak Nun itu mengajari orang untuk berperilaku Islami tetapi tak pernah ngajak orang masuk Islam. Cak Nun juga menyatakan perlunya dialog, supaya prinsip yang sama itu bisa lebih hidup dan bisa diterapkan. Dalam bahasa yang indah Cak Nun mengungkapkan, jangan sangka saya orang lain, karena saya tidak menyangka anda orang lain".
Merespons pembicaraan tentang sistem di Indonesia, berdasarkan pengalaman kerjanya, Cak Nun sangsi secara rasional ada ilmu yang bisa mengatasi masalah di Indonesia meski sudah ada sistem. Agak unik, Cak Nun berpendapat bahwa solusi untuk Indonesia adalah Allah nyoblos pada pilpres 2009. Tentu nyoblos-nya Allah tidak sama dengan nyoblosnya manusia. Asumsi Cak Nun sederhana bahwa yang sesungguhnya berhak memilih pemimpin di atas bumi ini adalah Allah. "Maka wiridnya", kata Cak Nun, "Ya Allah nyoblos dong". Hadirin tertawa, tetapi Cak Nun segera mengatakan, "Ini seirus...Karena Allahlah yang akan menggerakkan wacana-wacana....".
Perbincangan Mocopat malam itu makin asyik, penuh ilmu, saling menghargai pendapat, lebih-lebih di awal tadi ada penampilan Pak Sujud Kendang si penarik pajak rumah tangga (PPRT) yang dipandu Pak Ardani dan Mas Jijid dari Kiaikanjeng. Malam itu pula KiaiKanjeng mempersembahkan beberapa lagu, di antaranya, El Albi Ya’saq, Raja Diraja, Allahu Rabbi yang amat khusyuk.

Tidak ada komentar: